Rokan Hulu, intelmedia.co.id – Putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Rokan Hulu terhadap terdakwa Fitri dalam kasus dugaan penyalahgunaan narkotika menuai kritik tajam. Vonis enam tahun penjara yang dijatuhkan pada Rabu (30/7) pukul 15.00 WIB dinilai janggal dan mengandung aroma ketidakadilan yang mencolok.
Fitri adalah satu dari 12 orang yang ditangkap dalam serangkaian penangkapan, namun kuasa hukumnya menyoroti bahwa hanya Fitri yang dibawa ke meja hijau. Yang lebih memberatkan, menurut kuasa hukumnya, tidak ada satu pun barang bukti narkotika yang ditemukan padanya saat penangkapan.
“Ini sangat tidak masuk akal! Fitri ditangkap paling terakhir, dalam kondisi tidak memegang apapun. Barang bukti yang disebut itu bahkan berasal dari tempat lain, bukan dari kontrakannya,” tegas Ramses Huta Galung, S.H., M.H., didampingi Abdul Hakim, S.H., kepada wartawan usai sidang.
Ramses menyatakan bahwa proses hukum yang dijalani kliennya cacat secara prosedural dan penuh keanehan. Ia menjelaskan bahwa tujuh orang pertama ditangkap di Rambah Tengah Hulu oleh Intel Kodim, kemudian empat orang lainnya di Jalan Lingkar, dan barulah Fitri ditangkap belakangan. Namun, justru hanya Fitri yang diproses secara hukum.
“Kalau memang ada pelanggaran, mengapa hanya Fitri yang dihukum? Ini seperti ada skenario menjadikannya kambing hitam atau tumbal kasus,” kecam Ramses dengan nada tinggi.
Pernyataan ini diperkuat oleh kesaksian Bustami, saksi fakta dalam persidangan, yang dengan tegas mengatakan bahwa Fitri tidak membawa barang bukti apapun saat ditangkap. “Bong itu bukan dari kontrakan Fitri. Itu dibawa dari luar. Saya lihat sendiri saat dia ditangkap, tangannya kosong,” ujar Bustami di hadapan majelis hakim yang diketuai Abdi Dinata Sebayang, S.H., M.H.
Meskipun tidak ada barang bukti yang ditemukan pada terdakwa dan keterangan saksi membela Fitri, vonis enam tahun penjara tetap dijatuhkan. Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan publik mengenai transparansi dan keadilan di balik putusan tersebut.
“Kami hormati putusan majelis, tapi kami juga punya tanggung jawab moral untuk melawan ketidakadilan. Kami akan ajukan banding dan bawa ini ke pengadilan yang lebih tinggi,” tegas Ramses.
Kasus ini menjadi tamparan keras terhadap integritas aparat penegak hukum di Rokan Hulu. Masyarakat semakin resah dan meragukan keadilan hukum ketika seorang perempuan dijatuhi hukuman berat tanpa dasar kuat, sementara yang lain bebas tanpa proses hukum.
Apakah hukum masih bisa dipercaya? Atau ini hanya permainan kuasa? Masyarakat kini menanti langkah tegas dari pengadilan banding untuk mengoreksi ketimpangan dan menciptakan keadilan yang sebenarnya.
(Drjt)











